a

Senin, 09 November 2015

Sholat Istiqso dan Keluhan Seorang Dosen

Semester kedua tahun 2015 ini, di beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatra dilanda kejahatan pembakaran hutan yang berujung pada polusi kabut asap. Saya sebut "kejahatan" disini karena menurut analisis otak saya yang cetek ini, kebakaran yang meluas dan terjadi di banyak titik itu tidak mungkin terjadi secara natural. Terlalu mencurigakan. Polusi asap sebagai dampak dari pembakaran diperparah dengan kondisi musim kemarau yang berkepanjangan dan tak kunjung turun hujan.Baik pemerintah dan warga sukarelawan telah berusaha sebaik-baiknya dengan peralatan yang seadanya untuk memadamkannya. Namun apa daya, api bukanlah seperti rakyat kecil yang sekali dua kali gertak langsung diam. Api itu tamak, api itu rakus, api itu liar.
Kondisi kabut asap yang semakin parah dan seakan tak habis-habisnya menimbulkan fenomena baru, meski tidak bisa dibilang baru juga, di masyarakat, yakni sholat istisqa berjamaah untuk meminta hujan turun. Logika sederhananya, kalau hujan turun, api akan bisa padam kena air hujan, karena api sudah padam asap dari api akan berhenti, dan sebagian akan ikut terikat air hujan sehingga kabut asap akan hilang. Hal tersebut tentunya tidak salah baik secara hukum maupun agama, dan adalah sudah kewajiban manusia untuk berusaha dalam menghadapi problematika hidup yang dihadapinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah shalat istiqsa merupakan jalan terakhir yang kita ambil saat semua usaha yang dilakukan terasa sia-sia? Maksud saya kenapa kok ngga dari awal terjadi kebakaran saja kita melakukan sholat istisqa berjamaah?
Saya teringat kembali curhatan seseorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai dosen, dia bercerita kalau semalem menerima SMS dari seorang mahasiwa yang kesulitan mencari dosen pembimbing skripsi karena opsi-opsi dosen pembimbing favoritnya sudah penuh semua kuotanya. Sehingga sebagai opsi terakhir, jatuhlah kepada teman saya ini, dan entah "keberanian" apa yang merasuki mahasiswa ini sehingga terang-terangan mengatakan teman saya yang pintar ini adalah pilihan terakhirnya karena dosen-dosen yang lain sudah tidak bisa menerima bimbingan. Maka muntablah dia, dengan kualitas yang sedemikan bagusnya, dengan dedikasi yang sedemikian tingginya, bisa-bisanya dijadikan pilihan terakhir. Kewanen! Alhasil ajuan mahasiswa tersebut ditolak.
Lantas apa maksud dua cerita tersebut? Apa penulis sudah ikut-ikutan stres mikir skripsi sampai berani menuhankan seorang dosen? atau mendosenkan Tuhan? Secara hakikat dosen dan Tuhan jelas beda, ngga bisa dibandingkan. Tuhan itu pencipta, dosen itu manusia yang diciptakannya. Tuhan itu kekal, dosen itu fana. Tuhan itu tunggal, dosen itu jamak. Tapi coba bayangkan, dosen saja, yang memiliki kualitas dan dedikasi yang mumpuni dibidangnya, remuk hatinya bila dijadikan pilihan terakhir, bagaimana dengan Tuhan? bisa-bisanya! Tuhan seharusnya menjadi tempat pertolongan pertama, bahkan sebelum usaha, atau bahkan sebelum terjadinya masalah itu sendiri. Lha emangnya saya sudah menerapkannya? ..........?
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar