a

Sabtu, 28 November 2015

Saat Netizen Kurang Piknik Mengomentari Netizen Keseringan Piknik

Dua-tiga hari terakhir ini di medsos sedang ramai bahas Kebun Amaryllis-nya Bu Wartini. Kebun bunga ini lokasi tepatnya ada di Patuk, Gunung Kidul, pinggir jalan persis. Namun, yang menjadi pembahasan utama bukan keindahan kebun bunga Amaryllis tersebut, yang mirip versi mininya hamparan bungan tulip di negeri Belanda, atau tebaran Sakura di Jepang sana. Alih-alih netizen malah menghujat, mencerca, memaki-maki, lantaran kebun bunga tersebut rusak, yang konon katanya terinjak-injak anak-anak ABG (mungkin yang tua juga ada) saat selfie di sana. Dan, mungkin memang sudah kodrat "netizen" untuk selalu komen ini-itu, entah paham atau tidak. 

Sumber: liputan6.static6.com

Sebelumnya, saya perlu menjelaskan dulu bahwa saya ini orang yang menjaga ketertiban saat buang sampah apalagi di tempat wisata. Saya ini tidak pernah buang sampah sembarangan  macam bungkus makanan atau botol plastik saat jalan-jalan (piknik *red). Saya lebih suka menyimpannya sampai ketemu tempat sampah. Hal ini perlu saya jelaskan, karena mungkin saja pembaca adalah golongan netizen kurang piknik, yang logikanya sesederhana: Jika kamu tidak membela yang kelihatannya baik, maka kamu mendukung yang kelihatannya jelek.
Lanjut ke pembahasan, yang perlu kita cermati dari permasalah "injak-injak kebun" tersebut adalah: 
  • Bagaimana status kebun bunga tersebut, apakah milik pribadi atau milik umum? dari beberapa sumber seperti kompas.com, jogjamedia.co, dan metrotvnews.com kebun itu milik pribadi yaitu antara Pak Sukadi dan Ibu Wartini. Sebagai barang milik pribadi, harusnya pemiliknyalah yang bertanggung jawab atas keselamatan barang miliknya. Dengan kata lain, yang patut protes kebun tersebut rusak adalah Pak Sukadi dan Bu Wartini. Kita boleh saja mendukung Pak Sukadi dan Bu Wartini atas dasar propertinya telah dirusak (saya juga turut berduka).
  • Lokasi kebun tersebut berada di pinggir jalan yang rawan terjadi pengerusakan. Apabila tidak ada upaya untuk mencegah hal tersebut, lalu salah siapa? Di lain sisi pemakai jalan, yang kebetulan adalah netizen yang keseringan piknik, pengen dan akan seneng banget untuk berhenti sekedar memenuhi hasratnya untuk selfie-selfie. Ngga salah dong main ke kebun tetangga, ngga ada yang ngelarang kok. Hal tersebut tentu akan lain ceritanya kalau saja, ada pagar pembatas, atau minimal papan pengumuman "milik pribadi, dilarang masuk tanpa ijin pemilik" atau "milik pribadi, perusakan akan dipidana sesuai KUHP pasal bla bla bla". Lihat saja di beberapa pinggir jalan, sudah ada tulisan "dilarang buang sampah disini kecuali guguk" masih aja yang buang sampah disitu.
Dari dua alasan tersebut silahkan pembaca simpulkan sendiri mengenai persepsinya masing-masing. Bagaimana duduk perkara masalah ini lebih tepatnya. Penalaran saya, yang cetek ini, harusnya dari pemilik ada upaya untuk mencegah hal tersebut terjadi, mungkinkah ada unsur pembiaran? Lantas siapa yang ingin kita bela, Bu Wartini dan Pak Sukadi atau tempat wisata yang nyatanya adalah kebun milik pribadi (dan tidak pernah dinyatakan sebagai tempat wisata). Kalau kita menyebutnya "tempat wisata" maka tempat tersebut adalah milik umum, siapa saja bebas untuk menggunakan dan menjaganya, tapi ternyata bukan. Lebih dari itu, harusnya kita menghargai kerelaan Bu Wartini dan Pak Sukadi yang telah berkenan mengijinkan orang-orang untuk berkunjung ke kebunnya.

Senin, 09 November 2015

Sholat Istiqso dan Keluhan Seorang Dosen

Semester kedua tahun 2015 ini, di beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatra dilanda kejahatan pembakaran hutan yang berujung pada polusi kabut asap. Saya sebut "kejahatan" disini karena menurut analisis otak saya yang cetek ini, kebakaran yang meluas dan terjadi di banyak titik itu tidak mungkin terjadi secara natural. Terlalu mencurigakan. Polusi asap sebagai dampak dari pembakaran diperparah dengan kondisi musim kemarau yang berkepanjangan dan tak kunjung turun hujan.Baik pemerintah dan warga sukarelawan telah berusaha sebaik-baiknya dengan peralatan yang seadanya untuk memadamkannya. Namun apa daya, api bukanlah seperti rakyat kecil yang sekali dua kali gertak langsung diam. Api itu tamak, api itu rakus, api itu liar.
Kondisi kabut asap yang semakin parah dan seakan tak habis-habisnya menimbulkan fenomena baru, meski tidak bisa dibilang baru juga, di masyarakat, yakni sholat istisqa berjamaah untuk meminta hujan turun. Logika sederhananya, kalau hujan turun, api akan bisa padam kena air hujan, karena api sudah padam asap dari api akan berhenti, dan sebagian akan ikut terikat air hujan sehingga kabut asap akan hilang. Hal tersebut tentunya tidak salah baik secara hukum maupun agama, dan adalah sudah kewajiban manusia untuk berusaha dalam menghadapi problematika hidup yang dihadapinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah shalat istiqsa merupakan jalan terakhir yang kita ambil saat semua usaha yang dilakukan terasa sia-sia? Maksud saya kenapa kok ngga dari awal terjadi kebakaran saja kita melakukan sholat istisqa berjamaah?
Saya teringat kembali curhatan seseorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai dosen, dia bercerita kalau semalem menerima SMS dari seorang mahasiwa yang kesulitan mencari dosen pembimbing skripsi karena opsi-opsi dosen pembimbing favoritnya sudah penuh semua kuotanya. Sehingga sebagai opsi terakhir, jatuhlah kepada teman saya ini, dan entah "keberanian" apa yang merasuki mahasiswa ini sehingga terang-terangan mengatakan teman saya yang pintar ini adalah pilihan terakhirnya karena dosen-dosen yang lain sudah tidak bisa menerima bimbingan. Maka muntablah dia, dengan kualitas yang sedemikan bagusnya, dengan dedikasi yang sedemikian tingginya, bisa-bisanya dijadikan pilihan terakhir. Kewanen! Alhasil ajuan mahasiswa tersebut ditolak.
Lantas apa maksud dua cerita tersebut? Apa penulis sudah ikut-ikutan stres mikir skripsi sampai berani menuhankan seorang dosen? atau mendosenkan Tuhan? Secara hakikat dosen dan Tuhan jelas beda, ngga bisa dibandingkan. Tuhan itu pencipta, dosen itu manusia yang diciptakannya. Tuhan itu kekal, dosen itu fana. Tuhan itu tunggal, dosen itu jamak. Tapi coba bayangkan, dosen saja, yang memiliki kualitas dan dedikasi yang mumpuni dibidangnya, remuk hatinya bila dijadikan pilihan terakhir, bagaimana dengan Tuhan? bisa-bisanya! Tuhan seharusnya menjadi tempat pertolongan pertama, bahkan sebelum usaha, atau bahkan sebelum terjadinya masalah itu sendiri. Lha emangnya saya sudah menerapkannya? ..........?